20 Sep 2012

Gerimis

  By : Nurul Rachmawati
  
    Disuatu pagi yang bercuaca mendung membuatku menatap awan di tembusan kaca jendela sambil berdiam diri menunggu datangnya gerimis. Aku rindu oleh awan mendung dan sebutir air yang jatuh dari awan mendung itu. Kerinduanku itu pun tak akan pernah hilang begitu saja. Melihatku melamun di jendela rumahku, kakak pun datang menghampiriku.

    “Apa yang kamu lakukan disini, Ra ?”
    “Mungkin aku akan menunggu disini sampai hujan gerimis datang, Kak.”
    “Sudahlah... Kamu nikmati aja musim kemarau ini,”
    “Iya kak.”
    “Hmm,” kakak pun dengan diam-diam meninggalkanku.
    Tak menjelang lama, aku pun terkejut. Bagaimana tidak ?. Pasalnya, awan yang aku pandangi, sebutir air yang aku tunggu-tunggu pun telah sirna. Karena, diatas langit terlihat pancaran cahaya kecil yang perlahan-lahan membuat langit menjadi cerah kembali. Dan aku pun tersadar, bahwa kini kerinduanku akan datangnya gerimis pun bagaikan salju yang turun di Ibukota Jakarta. Aku turut prihatin akan tanpa datangnya gerimis. Akhir-akhir ini, langit selalu cerah. Tanpa ada segumpalan awan hitam satu pun. Akibatnya, sumur di desaku mengering, tanah didepan rumahku pun juga ikut mengering disertai retak-retak kecil disekelilingnya. Menurutku tanpa gerimis itu tak apa. Tapi, jika tanpa gerimis berkepanjangan itu apa-apa.
    Aku selalu berdo’a kepada-Nya bahwa aku butuh gerimis atau hujan agar lingkungan di desa kami tidak mengering. Walaupun aku telah berdo’a dan meminta agar didatangkan gerimis atau hujan, tetapi tetap saja langit tetap cerah dan belum ada tanda-tanda datangnya sebutir air yang akan membasahi desa kami.
    Disaat aku sedang melamun di jendela rumahku, terlihat dari sepanjang jalan depan rumahku bahwa temanku Ninda dan Bima sedang berjalan menuju rumahku. Melihatku sedang duduk-duduk meratap dari jendela rumahku, mereka pun langsung menghampiriku.
“Kara !” seru Ninda.
    “Ninda !” aku pun langsung menuju keluar rumah dan menghampiri mereka.
    “Ayo kita bermain di sawah dekat rumah Pak. Tono !” ajak Bima.
    Tanpa berpikir panjang, aku pun tak menolak ajakan dari Bima itu dan kami pun mulai berjalan menuju sawah yang akan kami jadikan tempat bermain kami. Sesampainya di sawah, tanpa enggan aku langsung mengambil handphoneku yang ku taruh didalam kantong celanaku. Dan kami pun berfoto-foto. Akan tetapi, kami kecewa akan sawah ini. Kami mengharapkan sawah yang hijau nan subur disertai dengan lumpur yang becek. Tetapi, sawah yang kami datangi ini berbeda dengan sawah yang kami harapkan. Tak ada satu pun sejalar daun padi yang berwarna hijau ceria. Seluruh hamparan tanaman di sawah itu semuanya berwarna kuning kecoklatan. Daun padinya pun mengering bgaikan kertas yang mudah untuk disobek. Aku pun berpikir, ternyata tanpa ada gerimis yang berkepanjangan membuat semua para makhluk hidup merasa dirugikan.
    “Kapan sih, akan datangnya gerimis ?” tanyaku sedih.
    “Aku juga nggak tau Kar. Kita juga sedih. Sawah-sawah yang dulunya hijau sekarang mengering. Semua lingkungan di desa kami pun ikut mengering.” jawab Bima sambil bermimik sedih.
    Karena di sawah ini tak ada lumpur yang becek, kami pun kembali pulang.
    “Ayo kita pulang !” ajak Ninda.
    “Iya, ayo !” jawabku.
    Disaat perjalanan pulang, tiba-tiba terdengar suara petir menyambar dan awan hitam yang aku tunggu-tunggu pun mulai muncul diatas langit.
    “Hujaann !!” seru Bima sambil memancarkan mimik bahagia.
    Dan tak lama, butiran-butiran air pun jatuh dan membasahi seluruh lingkungan di desa kami. Walaupun hanya gerimis, tetapi itu sangat berharga bagi penduduk desa kami. Kami pun pulang dengan bahagia dan berlari-lari menikmati gerimis itu.
    “Alhamdulillah,” syukurku.

0 komentar:

Posting Komentar