Kau, Seorang Laki-Laki Tanpa Nama
Aku
menyusuri jalan disebuah pedesaan. Terdapat hamparan sawah nan hijau disana.
Aku berjalan menunggu datangnya alat transportasi yang dapat kutumpangi. Ya,
disini tak ada angkot yang dapat membawa penumpang. Desa ini memang sangat
terpencil. Untuk berangkat kesekolah saja sangat sulit.
Dari
arah kejauhan, aku melihat sosok seorang laki-laki mengayuh ontelnya.
Lama-lama, ia semakin mendekat kearahku. Aku yakin dia pasti mau memboncengku
sampai ke sekolah. Saat ia berada didekatku, aku berkata
“Mas, aku terke sampek sekolah ya?”
kataku.
Dengan polosnya, ia menjawab
“Mbak, selama iki aku gung pernah
gonceng cah wedok! Seng gaene tak gonceng konco-koncoku cah lanang. Jek ugung
muhrim mbak, aku gonceng cah wedok.”
“Wes lah mas, pokoke aku goncengen
terke sampek sekolahan SMP 2 ya, mas!” aku memaksanya dan aku
langsung duduk di tempat pemboncengannya.
“Yo wes lah, nek mbak mekso.”
Jawabnya.
Akupun tersenyum.
Saat
diperjalanan, aku memperhatikannya. Ia sangat bersemangat sekali mengayuh
ontelnya demi mengantarkanku sampai sekolah. Aku melihat tetes keringat yang
jatuh dari jidatnya. Dan dalam hatiku berkata “Apakah kamu tidak sekolah?”
tanpa kusadari, pertanyaan itu keluar dari mulutku. Ia pun menjawab “Boro-boro
mbak sekolah, buat cari makan sehari-hari aja susah.”
“Sejak kapan sih, kamu berhenti
bersekolah?” tanyaku.
“Sejak lulus SD mbak.” Jawabnya
sambil ngos-ngosan. Apakah bebanku terlalu berat sampai dia sangat capek
seperti itu.
Aku
sempat menahan tangis saat ia berkata “Buat makan sehari-hari aja susah.”.
Sebenarnya, kehidupannya itu seperti apa sampai dia sulit untuk makan
sehari-hari. Aku merasa iba.
Sesampainya
di sekolah, aku bertanya “Biasanya kalau ada yang menumpang kamu, orang-orang
itu membayar berapa?”
“Boro-boro mbak, mau membayar.
Bilang makasih aja jarang.”
“Ini buat kamu.” Aku memberinya uang
agar ia bisa makan. Aku yakin, jumlah uang itu akan cukup untuk membeli nasi
bungkus atau lauk pauk semacamnya.
“Makasih ya, mbak! Makasih banget.”
Ia terlihat ceria sekali. Sampai-sampai, ia memegang tangan kananku. Ia
menggenggamku erat.
“Seharusnya, aku yang bilang
makasih. Udah mengantarkan aku sampai sini.”
“Aku mbak, yang bilang makasih.”
“Udah lah, mas. Aku mau menuntut
ilmu dulu.” Aku mengalihkan pembicaraan.
“Iya mbak. Aku juga mau pulang.”
“Hati-hati ya, mas!”
“Iya, mbak.”
Aku
masih memperhatikannya dari arah kejauhan.waduh, aku lupa belum tanya namanya.
Hatiku berkata “Aku kagum padamu.
0 komentar:
Posting Komentar