23 Sep 2016

Cerpen "KOMA"

Dulu juga pernah membuat postingan dengan judul yang sama, yaitu "KOMA". Maksud arti katanya sama, tapi isinya beda yaa. Kalau ini adalah cerpen yang khusus aku buat sendiri. Semoga suka ^.^

        Duduk di bangku bis yang tidak terlalu penuh sesak dibanding hari libur atau akhir pekan biasanya. Cukup ramai dengan suara pengamen yang membuatku tidak dapat menutup kedua mata untuk tertidur. Tercium bau khas bis antara bau solar, pengharum rasa jeruk, dan bau-bau parfum bahkan keringat para penumpang yang semakin mempertegaskanku untuk tidak dapat tertidur. Aku memilih untuk menatap suasana jalanan dari jendela. Melihat di pinggiran jalan ada segerombolan anak berseragam SMP yang tertawa dan bercengkerama bersama. Rasanya baru kemarin aku juga melakukan apa yang seperti mereka lakukan sekarang. Bibirku mengulas senyum melihat mereka, sembari melamun dan memikirkan beberapa kejadian dimasa lalu. Cinta. Rindu. Duka. Sedih. Bahagia. Bercampur aduk jadi satu membentuk sekumpulan rantai kenangan yang dibalut oleh waktu yang hanya dapat disimpan dalam memori.


Deeerrrttt. Deeerrrttt. Tiba-tiba saja, aku merasa ada getaran pada saku celanaku, ternyata suara itu berasal dari handphoneku yang pertanda ada sms atau chat masuk. Kulihat handphoneku dengan dua genggaman tangan, ternyata pesan dari grup chat whatsapp dari teman SMP dahulu. Terasa pas sekali antara apa yang aku pikirkan dengan apa yang aku dapatkan detik ini. Grup chat whatsapp ini selalu ramai setiap harinya, walau sudah tidak bersama satu kelas lagi selama 2 tahun.
“Solo, Solo, Solo...” terdengar suara teriakan sang kenet bis bahwa bis sudah akan sampai ke terminal Solo. Perlahan-lahan bis mulai berhenti. Sang sopir menghentikan bis tepat di depan banyak orang yang telah menunggu. Aku turun dari bis dan berjalan menuju pos ojek.
“Pak, tolong antar saya ke Jalan Ahmad Yhani gang Melati no 02 ya pak,” kataku kepada salah seorang supir ojek.
“Baik Mbak,”
Di jalanan cukup ramai dan padat. Banyak para pengendara bermotor keluar rumah dan terlihat sang mentari yang telah lelah menampakkan sinarnya. Tugu yang berdiri tegak di tengah perempatan jalan memperindah suasana jalan ini. Ditambah lagi penghijauan di sepanjang jalan yang tak kalah menarik akan hijaunya.
“Sudah sampai Mbak,”
“Ya, terima kasih pak,” kataku sambil memberikan uang ongkos.
Aku memasuki rumah dengan penuh suka cita. Dua tahun yang lalu suasana rumah ini berasa ramai, karena sepulang sekolah teman-temanku hampir setiap hari menyempatkan diri untuk berada di sini hingga larut malam, tetapi sekarang tak ada lagi teman-temanku yang berkunjung ke rumah hingga larut malam. Kini sedikit demi sedikit telah berbeda. Aku rindu akan hal itu. Akankah mereka yang dulu telah hilang dan tak kembali?
                                              ***
Aku akan berada di sini hingga hari Kamis. Hari dimana berakhirnya masa liburan yang sudah ditentukan selama 4 hari lamanya. Hari ini masih hari minggu. Bermalas-malasan di depan televisi sambil memakan camilan sangat meningkatkan suasana di hari libur ini. Aku tak terlalu memperhatikan apa yang sedang aku tonton. Aku sibuk oleh pikiranku sendiri yang bisa dibilang cukup kacau. Kebahagiaan yang dulu banyak kudapatkan, kini hanya ampasnya saja. Bila aku mengijinkan bulir-bulir di mata ini keluar, mereka akan keluar, tetapi sebaliknya, karena aku tak ingin orang lain melihatnya.
 “Assalamualaikum Kyra,”
Terdengar suara lembut seseorang. Aku menuju ke depan pintu rumah. Ternyata sosok yang kutunggu datang. Tidak hanya satu, tapi ada dua. Mereka yang membuat hariku lebih berwarna. Selalu membuatku tertawa dan bahagia dengan tingkah konyol yang kami buat sendiri. Mereka dua insan manusia yang membuatku lupa akan kesulitan yang kuhadapi dulu.
“Hai, Nir, Di. Lama tak jumpa,” sapaku dengan nada yang menunjukkan suatu kebahagiaan. Aku segera memeluk mereka dan merasakan betapa nyamannya berada di dekapan mereka.
“Ya, maka dari itu kami kesini untuk saling mengobati rasa rindu masing-masing,” jawab Nira sambil melepas pelukan kami.
 “Haha. Lalu, mana Sita? Ia tak ikut?”
“Tidak. Dia ada urusan bersama keluarga mendadak. Mohon maaf katanya. Ngomong-ngomong, kami sangat merindukanmu. Bagaimana keadaanmu selama bersekolah di Jogja?” jawab Dira sambil tersenyum dan memegang lengan tangan kiriku.
“Ya, alhamdulillah baik, tapi sayang aku tak bisa menemukan teman yang sama seperti kalian. Mayoritas temanku bersifat lebih individualis. Eh, ayo kami bicarakan sambil duduk,” jawabku sambil kupersilahkan mereka duduk di kursi ruang tamu rumahku.
“Mungkin karena sudah menginjak SMA dan lebih fokus akan masa depan mereka masing-masing,” jawab Dira sambil menempatkan posisi duduk nyamannya.
“Mungkin begitu. Kalau boleh tau, masih ingatkah kalian bagaimana kelakuan yang kami lakukan dulu yang bisa dibilang sangat memalukan? Haha,"
Kami bertiga membicarakan masa lalu kami hingga larut malam. Seakan hal yang dulu kami lakukan terulang kembali, tetapi berbeda pada konteks pembicaraan kami yang kini lebih dominan pada suatu nostalgia.
                                             ***
Hari libur usai. Kini aku kembali ke kota perantauanku. Tempat ku menempuh pendidikan. Pendidikan jenjang menengah atas. Banyak yang bilang bahwa saat menempuh jenjang ini akan merasakan jenjang pendidikan paling indah dengan sejuta kenangan yang menyenangkan. Lengkapnya akan cinta, kasih sayang, kekeluargaan, tetapi apa yang terjadi pada diriku tidak bisa merasakan akan lengkapnya hal itu. Aku merasakan cinta dan kasih sayang, tetapi bila dibandingkan masa lalu, keduanya terasa lebih indah.
Berjalan menuju tempat kos dengan disuguhi panasnya terik matahari. Peluh menetes dari dahi rambutku. Rambutku yang kuikat asal agar tidak menambah rasa gerah pada tubuhku. Setiap hari aku rela berjalan, bila sudah ditotal pasti sudah seribu langkah banyaknya. Berjalan seperti ini membuatku mengingat kembali masa itu. Dimana tak terasa jauh dan letihnya berjalan kaki dari sekolah bersama teman-temanku. Melakukan hal konyol seperti berjoget dipinggir jalan, tertawa hingga keras sampai orang lain melihat kami, menceritakan hal-hal bodoh dan unik selama di jalan, dan masih banyak lagi hal unik lainnya. Detik ini, hal itu seperti sudah hilang. Berjalan sendiri tanpa ditemani seorang kawan seperti mereka. Tidak ada hal gila yang kulakukan selama di sini.


Aku sampai di tempat kos. Memasuki kamar sambil meletakkan tas yang cukup berat di atas meja. Baru saja aku hampir duduk di kasur, salah satu temanku Lisa memasuki kamar ku.
“Hai Ra. Eh, kamu terlihat sedih. Kamu baik-baik saja?” sapa Lisa.
“Ya, Alhamdulillah. Baik,”
“Tetapi seperti ada yang berbeda pada dirimu. Ceritakan saja, apa masalahmu.”
“Aku selalu sedih, bila mengingat masa lalu yang mana hampir berbanding terbalik dengan masa yang kualami sekarang,”
“Kamu tidak bersyukur berteman denganku? Hingga kamu terus-menerus memikirkan masa lalumu. Kamu sudah mengatakan hal seperti ini hingga 5 kali kurasa.”
 “Bukan begitu maksudku Lisa. Aku sangat amat bersyukur berteman denganmu. Kamu selalu ada untukku. Kalau boleh jujur, temanku yang dulu hampir sama sepertimu, bedanya mereka lebih gila dan konyol darimu. Maafkan aku bila aku telah menyinggung perasaanmu,”
“Setiap manusia sejatinya memang berbeda sikap. Jadi seperti inilah sikap asliku terhadapmu. Aku tidak bisa bersikap seperti teman-temanmu dahulu yang bisa membuatmu tertawa, tetapi aku bisa membuatmu tertawa dengan caraku sendiri,”
Aku langsung memeluk Lisa dan menumpahkan bulir-bulir ini di dekapannya. Bulir-bulir yang semenjak dulu ingin keluar dan aku melarangnya, tetapi kini justru aku membuangnya hingga tak tersisa. Membuang semua apa yang membuat dadaku sesak. Aku manusia yang lebih hina dari manusia lainnya. Seakan-akan pikiran kotorku kini layaknya orang gila.

0 komentar:

Posting Komentar